Presiden Didikte dan Penegasan yang Sia-sia

Presiden Joko Widodo (Foto: Tempo.co)

Presiden Jokowi kembali memberikan komentarnya ke media massa. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, ada persoalan yang ditanggapinya secara serius. Dia menegaskan kembali posisinya sebagai pucuk pimpinan di negara ini. 

“Saya ulangi lagi, reshuffle (kabinet) itu adalah hak prerogatif presiden,” ujarnya seperti dilansir dari laman berita sindonews.com, Rabu (6/1).

Dia menambahkan lagi bahwa dirinya tidak mau didikte dan didorong pihak manapun untuk segera melakukan penyegaran kabinet. 

Dari berita tersebut, presiden tampak terilustrasi berada di antara lingkaran kepentingan dari golongan dan elit tertentu.

Masyarakat yang memahami peta perpolitikan akan mempunyai persepsi lain terhadap pernyataan tersebut. Jokowi adalah presiden rakyat yang datang dari keseharian rakyat Indonesia, bukan seperti para presiden terdahulu yang merupakan tokoh di negara ini. 

Inilah kemudian menjadi salah satu citra Jokowi sebagai presiden wong cilik. Dengan begitu, secara tak langsung, masyarakat melihat bahwa presiden Jokowi merupakan objek dari kepentingan golongan tertentu, sama seperti rakyat kecil lainnya.

Saya pun berpikir demikian. Artinya, penegasan Jokowi tentang hak prerogatifnya, bukanlah datang dari keangkuhan maupun jiwa otoriter. 

Sebagai manusia biasa, Jokowi merasa perlu menunjukkan taring manakala ada pihak maupun golongan tertentu yang ingin menggerogoti kekuasaanya.

Sekali lagi, presiden Jokowi adalah wong cilik, kekuasaannya semata demi kepentingan rakyat kecil di negeri ini. 

Bila memaknai penegasan hak prerogatif secara berlawanan, Jokowi seperti memberitahu kita, pihak yang ‘mendikte’ presiden merupakan lawan yang perlu disalahkan. Penafsiran ini muncul dari konteks yang sedang berlangsung.

Saya menilainya dari dimensi politik praktis. Dalam pemberitaan beberapa media massa, terangkum bahwa kekuatan terbesar di negeri ini sebenarnya beralih tangan kepada para elit partai politik tertentu. 

Jabatan sebagai menteri dan aparatus negara yang tidak bernaung di kementerian bagaikan timbunan gula di sekitar sarang semut. 

Kementerian dan lembaga negara lain barangkali sudah menjadi semacam kekuasaan parsial. Wajar bila partai politik atau elit politik lainnya ingin menempatinya apalagi incaran tersebut merupakan pos-pos strategis.

Benarlah bahwa presiden Jokowi merasa sedang didikte mengingat posisi ini hanya bisa didapatkan dari dirinya dengan hak prerogatif tadi. 

Adu strategi sampai apa yang dinamakan permainan politik tingkat tinggi sudah dijalankan. Kocok ulang kabinet sebenarnya bukan kehendak presiden. 

Hal ini masih simpang siur, namun wacana perombakan kabinet sudah sampai ke hadapan publik.

Salah satu partai yang gentol disorot media massa adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan tak ketinggalan juga terselip beberapa partai oposisi pemerintah lain seperti Golkar dan PKS. 

Bahkan, PDI-P sendiri pun—yang merupakan partai pendukung presiden Jokowi—tak mau ketinggalan. Usai mengerjakan angket Pelindo II, Pitaloka membaca keputusan angket dengan sangat merekomendasi presiden Jokowi untuk mengganti menteri BUMN.

Frasa ‘sangat merekomendasi’ ini menimbulkan beragam tafsir. Kata rekomendasi setidaknya membutuhkan tindakan yang boleh atau tidak perlu dilaksanakan. Ada pilihan. Namun, penambahan kata ‘sangat’ merubah makna tersebut menjadi sesuatu yang sangat direktif. 

Ada pengandaian bahwa ini merupakan perintah dari seorang wakil rakyat. Kalau sampai rekomendasi ini tidak dilaksanakan, mungkin saja frasa ‘sangat merekeomendasikan’ ini hanya hitam-putih di atas kertas saja. Seperti yang diketahui, persoalan Pelindo II telah menyita luas perhatian publik.

Salah satu perusahaan BUMN ini menjalankan bisnis justru untuk menguntungkan pribadi demi pribadi yang terlibat, bukan demi kemakmuran rakyat Indonesia secara luas. 

Mengetahui hal ini, tentu saja publik merasa geram dengan tingkah Direktur Utama RJ Lino dan jajarannya. 

Wacana ini kemudian dibawa ke Pansus Pelindo sampai menghasilkan sebuah keputusan yang tampaknya akan memberi rasa keadilan kepada rakyat kecil.

Keputusan ini perlu ditanggapi presiden secara bijaksana. Presiden, pada satu sisi, harus berpihak pada rakyat kecil, namun pada sisi lain berusaha menjaga stabilitas kerja kementeriannya. 

Namun, presiden tidak boleh didikte oleh siapapun! Siapa pendikte tersebut tidak dijawab langsung oleh Jokowi.

Mungkinkah ada pihak lain yang menganggap dirinya lebih tinggi dari presiden? Kekuasaan dan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat Indonesia. 

Namun mustahil rasanya jika ratusan juta rakyat datang hanya untuk mendikte presiden. Demonstrasi mahasiswa dan buruh saja jarang mendapat jawaban.Lalu, siapa penguasa tertinggi tersebut sampai presiden merasa didikte olehnya? 

Isu dan Kesia-siaanya 

Masih dari sumber berita yang sama dan melalui tayangan di televisi, berbicara kepada para wartawan yang mengelilinginya, dalam lanjutan wawancaranya, “Kamu juga jangan ikut dorong-dorong, dikte-dikte, desak-desak. 

Saya tegaskan, itu (perombakan kabinet) hak prerogatif presiden,” katanya. Dalam berita tersebut hampir seluruh wawancara dikendalikan Jokowi.

Maklum, dirinya memang tak banyak berkomentar di depan media, hanya apa adanya saja. 

Para wartawan tak bisa bertanya untuk mengembangkannya lebih lanjut. Tak hanya presiden, beberapa pejabat lain pun merasa perlu berhati-hati berpendapat. 

Dari pertanyaan pula setidaknya narasumber dijadikan objek untuk melegitimasi wacana media. Terciptalah realita yang terfragmentasi dalam sebuah berita.

Hal ini sama artinya ketika saya ingin tahu siapa pendikte presiden. Pencarian ini tentunya tidak akan berdampak sangat serius terhadap kemakmuran rakyat Indonesia secara langsung. Tak perlu mencari pendikte itu. 

Waktu akan terkuras banyak dan pada akhirnya berakhir pada sebuah kesia-siaan. Skandal Bank Century, Cicak vs Buaya, atau Papa Minta Saham adalah beberapa isu besar yang pernah ditayangkan media. 

Sampai sekarang kita tidak tahu untuk apa isu ini getol disampaikan ke masyarakat.

Tiada hasil bisa dirasakan langsung masyarakat. Keuntungan dari isu ini hanya menguntungkan pihak yang terlibat dan merasa kepentingannya terancam. Persidangan Setya Novanto telah usai. 

Pucuk pimpinan pun harus diganti. Namun, apalah artinya ini, toh harga sembako dan rokok tidak akan langsung turun. Kegundahan justru hanya dirasakan elit-elit politik, anggota DPR itu sendiri.

Oposisi dan koalisi, merekalah yang merasa gundah akan nasib partainya masing-masing. 

Golkar dalam hal yang paling dirugikan akibat sengketa dualisme kepemimpinannya. Lalu selang beberapa waktu kemudian, muncul wacana tentang perombakan kabinet. Dan lagi, masyarakat kembali disuguhkan pada tontonan politis.

Sialnya, seperti dalam isu-isu besar terdahulu, saya membayangkan tidak akan ada perubahan besar-besaran dalam peri kehidupan masyarakat. Tak ada keutamaannya pula untuk masyarakat mengetahui siapa ‘pendikte’ tersebut. 

Hal ini hanya akan mengajarkan kita tentang jenis-jenis dosa antara rakyat biasa dan pemimpin negeri ini. Mereka, para pemimpin, amat rentan masuk ke dalam api neraka. Masyarakat tentu akan kehilangan kepercayaannya.

Sesuatu yang menakutkan pada demokrasi. Bila terus berkepanjangan, jangan salahkan bunda mengandung bila suatu waktu masyarakat telah memutarbalikkan logika pemerintah: 

Apa yang dilakukan pemerintah bukan untuk kesejahteraan rakyat. Dan pada akhirnya perubahan atau revolusi hanyalah sebuah absurditas semata. Kita bakal kehilangan makna kehidupan. Semua usaha untuk menemukan kebenaran itu hanya mencapai hasil yang nihil, tak berarti apa-apa. Semoga saja hal ini tidak terjadi.

Comments