Sejenak,
kita pinggirkan kemacetan di jalan raya, banjir yang tak tahu kapan habisnya,
dan cita-cita kita. Ada fenomena yang luput, barangkali sengaja kita lalaikan,
dalam membangun cerita hidup. Seperti rakyat kecil di bumi ini, humanisme
selalu berada paling belakang. Namun semudah itukah memahami letak posisi ini?
Humanisme
berarti –isme dari manusia sebagai pusat segalanya. Cogito ergo sum, kata Descartes, “Aku berpikir maka aku ada.”
Ungkapan ini menunjukkan kepada kita sebuah tindakan (berpikir) mempertegaskan
ke-ada-an itu sebagai aku. Aku ‘ada’
selama aku memang berpikir. Dengan rasio, dunia hanya akan terungkap sebab aku memikirkannya.
Bagi
penulis, muncul pertanyaan sederhana untuk sebuah jawaban yang hampir
berabad-abad lamanya tak pernah terungkap jelas. Siapakah manusia itu? Aku
sebagai yang ‘ada’ harus ‘berpikir’, bila sedang tidur, lantas, apakah aku ini tetap
‘ada’? Aku sebagai subjek, aku sebagai manusia. Manusia sebagai yang ‘ada’
kemudian melegitimasi dirinya sebagai subjek. Demikian penulis melihat yang
‘ada’ tersebut sebagai wujud manusia itu sendiri.
Bagi Hobbes, pendapat tersebut ditertawakannya. Manusia, katanya,
serigala bagi manusia lain (Homo homini
lupus). Manusia ada karena ia memangsa, menaklukan manusia lainnya. Bukan
Hobbes saja yang memberikan definisi manusia. Bermacam-macam pendapat lahir ke alam fana tempat kita hidup. Manusia seakan-akan tak pernah habis.
Lagi manusia adalah makhluk tertawa (homo ridens), makhluk yang berkesinian (homo aestheticus), manusia beragama (homo religious), makhluk yang bekerja (homo faber, homo laborans).
Lagi manusia adalah makhluk tertawa (homo ridens), makhluk yang berkesinian (homo aestheticus), manusia beragama (homo religious), makhluk yang bekerja (homo faber, homo laborans).
Inilah
humanisme. Dalam pencerahan (aufklarung), dia adalah salah satu wajah
modernisme yang anggun. Ilmu pengetahuan berkembang, maju pesat, manusia mulai
meninggalkan tradisi agama yang dianggap usang dan menjenuhkan. Rasio dalam
sains mulai mendapat tempat mulia di atas manusia itu sendiri!
Begitulah
manusia, tampak kecil, agung dan misteri. Memahaminya sama sukarnya dengan
Tuhan sendiri. Dalam postmodernisme, keagungan dan misteri manusia semakin luas
maknanya lalu beranak-pinak tujuh keturunan ke bawahnya. Filsafat tentang manusia semakin
terpojokkan. Kontradiksi itulah, bagi penulis, wajah humanisme yang sekarang
ini berdiri atau bersembunyi di balik tragedi.
Penulis
menyederhanakan luasan topik humanisme tersebut ke dalam suatu pandangan
absurditas dan pemberontak yang pernah dijabarkan oleh Albert Camus. Perlu
dipahami, Camus adalah sama dengan penulis dan sastrawan Prancis lainnya yang tidak pernah
mengkalim terang-terangan dirinya sebagai seorang filsuf maupun sastrawan
humanisme. Analisa dan pembacaan atas karyanyalah yang menggerakkan naluri kita dan
beberapa penulis lain meletakkan mahkota humanisme itu.
Manusia sebagai Subjek
Manusia
hadir sebagai subjek. Dialah (subjek) yang pertama hadir, mengatur yang lain. Tuhan
telah mati (Got ist tott) dan kitalah pembunuhnya, kata Nietzsche. Tuhan
sebagai satu-satunya penentu kehidupan manusia, satu-satunya sumber moralitas
telah mati. Kematian Tuhan itu sebuah penanda bahwa subjek telah hilang dari kehidupan
ini. Posisinya lantas jatuh kepada manusia. Nietzsche melihat dengan hilangnya
subjek, maka kekacauan justru akan terjadi. Realita sedari lahirnya adalah
sebuah chaos.
Lalu
manusia menjadi subjek, makhluk yang berkehendak. Sanggupkah manusia mengemban
tugas suci ini? Manusia menjadi penentu keadilan bagi kehidupan. Dia
bertanggungjawab dalam menjawab dan memberikan keadilan itu bagi manusia.
Ubermensch, manusia super hanya sampai pada angan-angan tentang cerita indah
kehidupan. Nietszche hanya meninggalkan angan-angan untuk sebuah fenomena yang
terlalu sulit dicari jawaban mudahnya.
Tentang
kematian Tuhan selanjutnya menggiring beberapa pemikir untuk menindaklanjuti
persoalan ini. Mereka, sejauh penulis memandang, tak terlalu banyak
memperdebatkan mengapa kematian Tuhan. Manusia mendapat perlakuan istimewa
dalam filsafat dan dunia sastra. Apa yang menjadi kemajuan zaman dan peradaban
akan menyelipkan kehendak manusia itu sendiri.
Dunia
adalah objek bagi manusia. Dengan gairah tinggi, manusia memperkosanya. Inilah
konsekuensi yang harus diterima manakala Tuhan telah mati. Baik dan buruk
menyatu. Moralitas yang datang dari manusia hanyalah sebuah kejahatan baru
pula, tampaknya. Kehendak untuk berkuasa bagi manusia tak lain adalah sebuah
pembunuhan terhadap moralitas itu sendiri.
Kematian
Tuhan bukan sebuah ketiadaan total bagi eksistensi Tuhan. Tuhan yang mati
bukanlah Tuhan yang satu seperti kita yakini. Manusia akan menciptakan Tuhan
yang baru atas kehendak manusia itu, semisal teknologi, kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan sebagainya. Namun Nietzsche juga mengingatkan bahwa usaha
tersebut, kemajuan ilmu pengetahuan yang semakin tinggi akan berakhir pada kesia-siaan
semata. Puncaknya, manusia akan menemukan ketiadaan makna (nihilisme).
Absurditas
Albert
Camus setidaknya memiliki kesepahaman dengan Nietszche tentang sebuah
kesia-siaan. L’Etrangers menunjukkan
absurditas tersebut. Penokohan Mersault sebagai seorang yang aneh bagi
masyarakat tampak dalam awal cerita. Tidak masuk akal seorang anak dengan raut
wajah datar meneguk segelas kopi di atas peti mati ibunya. Tiada duka di hari
itu.
Lanjut cerita di pantai. Mersault menembak mati seorang Arab yang sebenarnya
tak ada urusan langsung dengannya. Justru temannya yang terlibat pertengkaran dengan
si Arab tersebut. Namun atas perasaan yang membuat hina dirinya, peluru disasarkannya kepada
orang Arab tersebut. Bahkan dalam keadaan tergeletak tak bernyawa sekalipun,
tiga tembakan tetap dipelatuk Mersault.
Dia mendapat ganjaran atas perbuatannya. Hakim menjatuhkan hukuman mati. Baginya, entah alasan apa, penembakan tersebut harus disangkutpautkan dengan masa lalu, sewaktu kehadirannya
pada pemakaman sang ibu. Dan hakim merasa itu dalam pertimbangannya, yakin pada vonisnya. Mati!
Mendekati
hari terakhirnya, dia memiliki perasaan sama seperti orang lain, ingin menikmati
sebuah kebebasan. Pendeta yang datang sebelum hari eksekusi bukan memberi jawaban
tersebut, malah menambah kemarahannya. Sungguh, Mersault ingin menikmati hari
terakhirnya dengan tenang tanpa perlu cerita indah tentang surga dan kehidupan
setelah kematian. Di hari kematiannya, dia ingin masyarakat menaymbutnya dengan
teriakan kebencian.
Mersault
bukanlah orang yang bertingkah laku seperti masyarakat pada umumnya. Manusia yang
menurut pada tatanan sosial masyarakat justru kehilangan otonominya. Mersault
tak ingin asing untuk dirinya sendiri, biarlah masyarakat menganggapnya
demikian. Dalam dua titik ini, kebenaran sejatinya tidak menemui maknanya.
Pencarian akan kebenaran tersebut hanya sia-sia Sayangnya, Camus menunjukkan
dalam novelnya tersebut bahwa individu telah takluk akibat kebenaran umum yang
berlaku.
Pembunuhan
bukan lagi sebagai pro-kontra manakala kita percaya pada ketiadaan (nothing), ketiadaan tersebut mempunyai
makna, dan kita menyetujui bahwa di sana tidak ada nilai-nilai, maka segala
sesuatu menajdi mungkin dan ketiadaan itu pun menjadi suatu hal yang tidak
penting. Tak ada pro kontra: pembunuhan itu bukanlah sesuatu yang benar atau
salah.
Untuk
mengatakan bahwa hidup itu absurd, maka hati nurani perlu dihidupkan. Sejak
saat kehidupan ini dikenal atau diakui sebagai sesuatu yang baik, maka hal itu
baik untuk semua orang.
Absurd
kontradiksi dalam dirinya. Sebab, dalam keinginannya untuk menegakkan hidup, ia
mengeluarkan semua pertimbangan nilai, padahal, bila kita hidup berarti suatu
pertimbangan nilai. Paham absurd, dalam bentuknya yang paling murni, mencoba
untuk tetap membisu. Jika ia menemukan suaranya, itu disebabkan karena ia telah
terpuaskan dengan dirinya sendiri atau mempertimbangkan dirinya sebagai sesuatu
yang sementara.
Kematian
sendiri absurd, selama orang tak lagi menerima kenyataan yang transenden.
Menjelang kematian itulah setiap orang berhadapan dengan kenyataan yang
diinginkannya. Kematian kunci terakhir untuk menilai makna kehidupan. Apa
gunanya membangun peradaban sekian lama namun kita akhirnya ditelan kematian?
Masa
depan adalah sesuatu yang absurd, tak pernah bisa dipahami. Camus amat
konsekuen dengna pandangannya bahwa seorang absurd tak bisa berbuat selain
menggeluti absurditasnya saat ini. Camus menolak segala bentuk futuriseme dan
ideologi yang menjanjikan hari yang indah dan masa depan yang cerah.
Manusia
yang menyadari absurditasnya dapat menyerah atau putus asa begitu saja. Namun,
ada pilihan untuk memberontak. Camus lebih memilih alternatif ini.
Pemberontakan ini harus konsisten dengan menyadari kodrat dunia seraya menolak
turut masuk ke dalam tragedinya.
Kematian
merupakan sindiran terhadap seluruh rencananya, maka pemberontakan merupakan
ekspresi kebebasan yang istimewa: menyatakan diri benar kendati harus
menjalankan hukuman mati. Seseorang harus mengumpulkan pengalaman pemberontakan
sebanyak-banyaknya. Pemberontakan dapat dilihat sebagai reaksi positif dari
kemacetan dunia karena absurditas itu.
Manusia sebagai pelayan ide
(kehendak)
Pandangan
Camus, bagi penulis, menerangkan dimensi waktu bahwa manusia hidup dalam ‘saat
ini’. Sisipus bisa saja memberontak terhadap hukumannya bila saat ini memang
menjatuhkan martabatnya.
Dewasa
ini, ide maupun kehendak manusia bertemu dengan otonomi manusia. Ini titik
penting bagi manusia, dia harus melawan ide atau patuh terhadapnya. Sebagai
warga negara, ide tersebut mulai dibungkus rapi sebentuk ideologi. Atas nama
ideologi tersebut, peristiwa di luar akal sehat terjadi sebanyak mungkin, walau
beberapa orang akan menolak dengan berbagai pertimbangan.
Atas
nama bangsa dan negara, sikap patriotik terutama kalangan militer, seseorang
bertaruh sebagai subjek yang otonom. Manusia bukan tak mungkin bergelut sendiri
walau jelas dia harus merelakan kebebasannya. Angan-angan dan cita-cita tentang
masa depan, manusia perlu merefleksikan kehendaknya.
Daftar
Pustaka
Borgias, Fransiskus, Manusia Pengembara.
Jogjakarta: Jalasutra, 2013
Camus, Albert, Pemberontak. Jogjakarta:
Narasi, 2015
Artikel
Daring:
Astri Adriani Allien: Makna Kehidupan
Manusia Menurut Albert Camus, FIB Undip. Diunduh 17 Maret 2016
Comments
Post a Comment